Jumat, 23 September 2011

HUKUM UDARA NASIONAL DAN INTERNASIONAL


pengertian hukum udara
1) Diederiks-verschoor
Hukum udara (air law) sebagai hukum dan regulasi yang mengatur pengunaan ruang udara yang bermanfaat bagi penerbangan, kepentingan umum, dan bangsa-bangsa di dunia .

2) M. Le. Goff
Hukum udara adalah serangkaian ketentuan nasional dan internasional mengenai pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum, publik maupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan internasional .

3) M.Lemoine
Hukum udara adalah cabang hukum yang menentukan dan mempelajari hukum dan peraturan hukum mengenai lalu lintas udara dan penggunaan pesawat udara dan juga hubungan-hubungan yang timbul dari hal tersebut .

Selain pengertian diatas menurut K. Martono ada juga pengertian lainnya menurut pakar yang mempunyai keyakinan bahwa hukum udara dan hukum ruang angkasa harus disatukan dalam cabang hukum tunggal, karena kedua bidang tersebut mewakili bidang hukum yang secara langsung maupun tidak langsung berlaku pada penerbangan-penerbangan yang dilakukan manusia . Pengertian ini diawali karena terbitnya sebuah glossary Tahun 1995 oleh Research Studies Institutes pada Maxwell Air Force Base, dimana ditemui sebuah definisi istilah ”Aerospace” yaitu :
”The earth’s envelope of air and space above it, the two considered as a single realm for activity in the flight of air vehicles and in the launching, guidance and control of ballistic missiles, earth satellites, dirigible space vehicles, and the like”.

Berdasarkan glossary ini john C. Cooper seorang ahli hukum udara, sampai pada suatu definisi istilah aerospace yaitu sebagai berikut :

“Keseluruhan prinsip dan ketentuan hukum yang berlaku dari waktu ke waktu, yang menentukan dan mengatur :
1. a.Aerospace (yang memakai definisi dari glossary);
b.Hubungan dengan daratan dan perairan diatas permukaan bumi;
c.Luas dan karakter hak-hak individu dan negara-negara untuk menggunakan dan ataupun mengontrol ruang tersebut, atau bagian daripadanya, atau benda-benda langit yang terdapat di dalamnya, untuk penerbangan-penerbangan atau tujuan lainnya ;
2. a.Penerbangan
b.Peralatan-peralatan dengan mana penerbangan itu dilakukan, yang meliputi nasionalitasnya, pemilihan, pemakaian atau kontrol;
c.Fasilitas-fasilitas di permukaan bumi yang memakainya berkaitan dengan penerbangan seperti bandar-bandar udara, tempat-tempat peluncuran atau pendaratan lainnya, fasilitas-fasilitas navigasi dan jalur penerbangan.
3. Hubungan-hubungan dari setiap hal yang berkenaan dengan atau antar individu, masyarakat atau negara-negara yang timbul dari keberadaan ataupun penggunaan tempat penerbangan (Aerospace), atau peralatan-peralatan ataupun fasilitas-fasilitas yang digunakan dalam kaitan itu atau untuk berhasilnya penerbangan itu”.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapatlah ditarik suatu definisi hukum udara secara umum. Hukum udara merupakan keseluruhan norma-norma hukum yang mengatur penggunaan ruang udara, khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam peranannya sabagai unsur yang diperlukan bagi penerbangan. Dengan kata lain, penerbangan merupakan objek kajian dalam hukum udara karena dalam kegiatannya menggunakan ruang udara sebagai medianya.

2. Pengaturan Hukum Udara Internasional dan Nasional
Hukum udara secara nasional diatur dalam perjanjian, baik perjanjian multilateral maupun bilateral. Perjanjian bilateral tentang penerbangan sipil biasanya mengatur mengenai hak-hak penerbangan, rute penerbangan, kapasitas pengangkut udara, dan tarif jasa pengangkut udara . Materi perjanjian tersebut dipengaruhi oleh perjanjian udara bermuda tahun 1946 antara Inggris Raya dan Amerika Serikat . Konvensi bermuda tersebut memiliki karakteristik liberal dalam hal kapasitas angkutan udara. Konvensi bermuda 1946 pada kemudian hari menjadi sebuah acuan utama bagi setiap negara untuk menyusun perjanjian jasa pengangkut udara sipil komersil selain Chicago Standard form Agrement dan European Civil Aviation Conference Standard Form” .

Adapun pengaturan hukum udara secara internasional adalah sebagai berikut:
1. Paris Convention)
Beberapa bulan sebelum ditanda tanganinya perjanjian perdamaian di versailles, Dewan tertinggi dari Konferesi perdamaian memutuskan untuk mengadakan suatu panitia penerbangan dan memberi tugas kepadanya untuk menyiapkan suatu peraturan guna mengatur lalu lintas udara internasional dimasa yang akan datang. Pekerjaan yang dilakukan panitia telah menghasilkan suatu perjanjian penerbangan, yang ditandatangani di Paris pada tanggal 13 oktober 1919 oleh 27 negara. Perjanjian Paris ini merupakan cikal bakal dari lahirnya konvensi chicago .

2. Konvensi Chicago
Menjelang berakhirnya perang dunia II, pemerintah Amerika Serikat yang pada waktu itu dijabat oleh Presiden Roosevelt telah mengambil inisiatif untuk mengundang berbagai Negara, baik Negara-negara sekutunya maupun Negara-negara netral di Eropa dan Asia, kecuali Negara-negara Amerika Latin untuk menghadiri suatu konferensi di Chicago, yang bertujuan menyusun ketentuan-ketentuan bersama yang baru megenai lalu lintas udara sipil internasional dan mengganti perjanjian yang telah ada sebelumnya yakni Perjanjian Paris . Konferensi yang dilaksanakan di Chicago tersebut telah menghasilkan beberapa hal penting, yaitu :

1. Konvensi mengenai Penerbangan Sipil Internasional yang dikenal dengan Konvensi Chicago Tahun 1944 (Convention Aviation Signed at Chicago on 7 Desember 1944)
2. Persetujuan Transit Udara Internasional (IASTA/ International Air Transit Agreement)
3. Persetujuan Transportasi Udara Internasional (IATA/ International Air Transport Agreement)

IATA dan IASTA merupakan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, yang mempertukarkan lima hak-hak penerbangan (Five Freedom on the Air) atau juga dikenal dengan lima kebebasan di udara, yang dipertukarkan dalam IASTA hak kebebasan Ke-1 dan Ke-2, yaitu sebagai berikut :

1) Hak untuk terbang melintasi wilayah Negara lain tanpa melakukan pendaratan.

2) Hak melakukan pendaratan di Negara lain untuk keperluan Operasioanl (Technical Landing) dan tidak berhak untuk mengambil dan menurunkan penumpang dan/ ataupun kargo secara komersial.

Sedangkan hak kebebasan yang dipertukarkan dengan IATA adalah hak kebebasan Ke-1,2,3,4 dan Ke-5 . Hak kebebasan berikutnya adalah:

3) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari Negara pendaftar pesawat udara ke Negara pihak yang lainnya.

4) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari Negara yang berjanji lainnya ke Negara pesawat udara yang didaftarkan.

5) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari atau negara ketiga diluar negara yang berjanji.

Kebebasan udara tersebut biasanya dipertukarkan dalam perjanjian udara timbal balik (Bilateral Air Transport Agreement). Secara teoritis terdapat delapan kebebasan di udara (Eight Freedom of the Air), namun dalam praktik hanya ada terdapat lima kebebasan di udara. Tiga kebebasan berikutnya, masing-masing kebebasan di udara ke-6,7 dan 8 yaitu sebagai berikut :

6) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari Negara ketiga melewati Negara tempat pesawat udara didaftarkan kemudian diangkut kembali ke negara tujuan.

7) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial semata-mata diluar Negara-negara yang mengadakan perjanjian.

8) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari suatu tempat ke tempat yang lain dalam suatu wilayah Negara berdaulat dan ini dikenal dengan istilah ”Kabotase” (Cabotage). Cabotage merupakan hak preogratif Negara berdaulat untuk melakukan transportasi dalam negeri guna pemanfaatan perusahaan penerbangan nasional. Biasanya hak kabotase tersebut tidak pernah diserahkan kepada perusahaan asing manapun.

3. Perjanjian Warsawa Tahun 1929

Pada tanggal 12 oktober 1929 di Warsawa ditandatangani suatu perjanjian yang lengkapnya bernama ”Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air”, yang lebih dikenal dengan sebutan “ Perjanjian Warsawa “. Perjanjian ini mengatur antara lain dua hal pokok, yaitu :

1) Mengenai Dokumen Angkatan Udara
2) Mengenai masalah tanggung jawab pengangkut udara Internasional.
Pentingnya perjanjian ini ialah ketentuan-ketentuan didalamnya mengatur mengenai limit tanggung jawab ganti rugi .

4. Konvensi yang mengatur mengenai kejahatan dalam penerbangan (Hijacking)

Ada dua konvensi yang mengatur mengenai kejahatan dalam penerbangan, yaitu :
a. Konvensi Tokyo tentang pelanggaran dan Tindakan tertentu lainnya dalam Penerbangan (Convention and Certain Other Acts Committe on Board Aicraft) Tahun 1963
Konvensi ini disebut juga dengan konvensi pembajakan udara. Tujuannya adalah untuk melindungi pesawat udara,orang, barang yang diangkut untuk menjamin keselamAtan penerbangan. Konvensi ini mempunyai yurisdiksi terhadap pelanggaran maupun tindak pidana penerbangan serta mencegah terjadinya kekosongan hukum pada tindak pidana maupun pelanggaran di dalam pesawat udara yang sedang melakukan penerbangan di atas laut lepas/ atau daerah yang tidak bertuan .

Menurut konvensi Tokyo terhadap kejahatan dan pelanggaran di udara maka berlaku yurisdiksi dari Negara pendaftar pesawat udara yang terjadi dalam pesawat udara ”in flight” . Dalam konvensi ini yang disebut dengan in flight adalah pada saat pesawat udara dengan tenaga penuh siap untuk tinggal landas sampai pesawat udara melakukan pendaratan di ujung landas pacu.

b. Konvensi The Haaque Tahun 1970

Konvensi tentang perlindungan pesawat udara dari tindakan melawan hukum (Convention for the Supression of Unlawfull Seizure of Aircraft) yang lebih dikenal dengan konvensi The Haaque Tahun1970 merupakan penyempurnaan dari Konvensi Tokyo 1963. Konvensi ini memperluas pengertian dari in flight yaitu sejak semua pintu luar ditutup diikiuti dengan embarkasi pesawat udara sampai semua pintu luar dibuka kembali diikuti dengan debarkasi penumpang (ketika semua penumpang telah turun). Berlakunya konvensi ini tergantung dari pendaratan nyata pesawat udara yang dibajak bukan tergantung pada jenis penerbangannya.
Pengaturan hukum udara di indonesia merupakan ratifikasi dari perjanjian-perjanjian internasional dibidang hukum udara seperti Ordonansi pengangkutan udara 1939, yang lebih dikenal dengan OPU No. 100 stb. 1939 dimana mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut dan ganti rugi. Dasar hukum penerbangan sipil dalam hukum udara Indonesia diatur dalam Undang-undang penerbangan yang telah beberapa kali disempurnakan, dimulai dengan lahirnya Undang-undang No. 83 Tahun 1958 tentang penerbangan, yang kemudian diubah dengan Undang-undang No.33 Tahun 1964, yang disempurnakan lagi dengan Undang-undang No.72 Tahun 1976, kemudian dengan Undang-undang No.15 Tahun 1992, terakhir disempurnakan dengan lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan yang terdiri dari 24 Bab 466 Pasal.

Undang-undang Penerbangan yang disahkan pada Tanggal 12 Januari 2009 Tentang Penerbangan sangat menjanjikan terhadap pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena Undang-undang tersebut secara komprehensif mengatur pengadaan pesawat udara sebagaimana diatur dalam Cape Town 2001, berlakunya Undang-undang secara Extra-teritorial kedaulatan atas wilayah udara di Indonesia , pelanggaran wilayah kedaulatan yang lebih dipertegas , produksi pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, asuransi pesawat udara , independensi investigasi kecelakaan pesawat udara , pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum yang sering disebut Badan Pelayanan Umum (BLU) , pengadaan pesawat udara sebagaimana diatur didalam Konvensi Cape Town 2001.
Berbagai jenis angkutan udara baik niaga maupun bukan niaga dalam negeri maupun luar negeri, kepemilikan modal harus Single Majority tetap berada pada warga Negara Indonesia, perusahaan penerbangan minimum mempunya 10 (sepuluh) pesawat udara, 5 (Lima) dimiliki dan 5 (Lima) dikuasai, komponen tarif yang dihitung berdasarkan tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tambahan, pelayanan bagi penyandang cacat, pengangkutan barang-barang berbahaya , ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (Third Parties Liability), tatanan kebandar udaraan baik lokasi maupun persyaratannya, perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi, sumber daya manusia baik dibidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara, maupun navigasi penerbangan, fasilitas navigasi penerbangan, otoritas bandar udara, pelayanan bandar udara, keamanan penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan (Single Air Service Provider), penegakan hukum, penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur, budaya keselamatan penerbangan, penanggulangan tindakan melawan hukum dan berbagai ketentuan baru guna mendukung keselamatan transportasi udara Nasional maupun Internasional.

Undang-undang ini bermaksud memisahkan regulator dengan operator sehingga tugas dan tanggung jawab masing-masing jelas .

Selain Undang-undang No.1 Tahun 2009, penerbangan juga diatur dalam Peraturan Menteri seperti Keputusan Menteri Perhubungan No.41 Tanggal 4 Desember 2001 tentang Peraturan Umum Pengoperasian Pesawat Udara, Keputusan Menteri Perhubungan No. 65 Tanggal 22 Agustus Tahun 2000 tentang Prosedur Pengadaan Pesawat Terbang dan Helikopter, Keputusan Menteri Perhubungan No. 75 Tanggal 22 Agustus Tahun 2000 tentang Standar Sertifikasi Personil Penerbangan, Keputusan Menteri Perhubungan No. 77 Tanggal 20 November Tahun 2000 Tentang Persyaratan–persyaratan Sertifikasi dan Operasi Bagi Perusahaan Ankutan Udara yang Melakukan Penerbangan Dalam Negeri Internasional dan Charter atau Kargo, Keputusan Menteri Perhubungan No. 78 Tanggal 2000 tentang Perawatan Preventif, Perbaikan dan Modifikasi Pesawat Udara, Keputusan Menteri Perhubungan No. 80 Tanggal 20 November Tahun 2000 tentang sertifikasi kecakapan bagi personil Perawatan Pesawat Udara. Dimana seluruh peraturan tersebut mengatur mengenai standar dan prosedur penerbangan yang telah dipersyaratkan.

Tinjauan umum tentang standar keamanan dan keselamatan penerbangan baik mengenai pengertian dari keamanan dan keselamatan penerbangan, kategori-kategori dari standar keamanan dan keselamatan penerbangan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keamanan dan keselamatan penerbangan.

3. Faktor Penegakan Hukum
Penegakan hukum terkait aspek keamanan dan keselamatan penerbangan di Indonesia tidak dapat dilihat dari aspek hukum semata. Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa hukum itu harus dilihat sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari tiga komponen. Komponen-komponen tersebut adalah :
1. Substansi hukum (legal substance), yaitu aturan-aturan dan norma-norma umum.
2. Struktur hukum (legal structure), yaitu penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara serta institusi yang melahirkan produk-produk hukum.
3. Budaya hukum (legal structure), yaitu meliputi ide-ide, pandangan-pandangan tentang hukum, kebiasaan-kebiasaan, cara bepikir dan berlaku, merupakan bagian dari kebudayaan pada umumnya, yang dapat menyebabkan orang mematuhi atau sebaliknya, menyimpangi apa yang sudah dirumuskan dalam substansi hukum.
Adapun menurut Soerjono Soekanto bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri, yang terkait dengan peraturan perundang-undangan.
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.
3. faktor sarana maupun fasilitas, yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan di mana hukum tersebut berlaku.
5. Faktor kebudayaan, yaitu hasil kerja, cipta dan rasa yang dilandasi pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Dengan demikian Standar keamanan dan keselamatan penerbangan di Indonesia akan senantiasa memperhatikan kompleksitas dari aspek-aspek dan faktor penegakan hukum itu sendiri baik berdasarkan Hukum Nasional maupun Hukum Internasional.
4. Berlakunya Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasional
Berkaitan dengan berlakunya kaidah hukum internasional ke dalam hukum nasional menurut Mochtar kusumaatmadja , Indonesia tidak menganut teori transformasi yaitu mentransformasikan terlebih dahulu ketentuan hukum internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Di sisi lain Indonesia juga tidak menganut sistem in korporasi sebagaimana dianut Inggris dan Amerika serikat, dimana hukum internasional dianggap merupakan bagian dari hukum negara , hukum internasional juga secara otomatis berlaku sebagai hukum negara sepanjang tidak bertentangan dengan perundang-undangan nasional Inggris dan Amerika Serikat. Indonesia langsung terkait terhadap konvensi atau perjanjian yang telah disahkan, tanpa terlebih dahulu membuat undang-undang pelaksananya. Namun untuk beberapa hal mutlak diperlukan undang-undang sendiri.
Adapun berlakunya hukum internasional ke dalam hukum nasional telah diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dalam Pasal 5 dinyatakan :
1) Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang atau keputusan Presiden, Pemerintah Indonesia dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah penendatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian tersebut.

2) Suatu perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut

Selanjutnya mengenai berlakunya perjanjian internasional yang memerlukan ratifikasi melalui undang-undang, menurut Pasal 10 Undang-undang No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang berkenaan dengan :
a. Masalah politik, perdamaian dan keamanan negara.
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara.
c. Kedaulatan dan hak berdaulat negara.
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
e. Pembentukan kaedah hukum baru, dan
f. Pinjaman/hibah luar negeri.

Berdasarkan pada Undang-undang No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional tersebut, telah ditentukan jenis-jenis perjanjian yang digolongkan sebagai treaty dan agreement. Treaty memerlukan pengesahan dari DPR, sedangkan agreement tidak memerlukan pengesahan DPR, cukup pemberitahuan saja dari Pemerintah kepada DPR untuk diketahui.
Ada sejumlah instrumen hukum internasional yang berkenaan hukum udara. Keterikatan Indonesia atas sejumlah instrumen hukum internasional yang mengatur tentang standar keamanan dan keselamatan penerbangan di Indonesia tidak hanya dapat dilihat berdasarkan pandangan Mochtar Kusumaatmadja dan ketentuan Undang-undang No. 24 Tahun 200 Tentang Perjanjian Internasional, namun melalui teori Hans Kelsen yang berpijak pada suatu asas pacta sunt servanda suatu negara terikat untuk melaksanakan norma-norma hukum internasional dalam hukum nasionalnya dapat dikembalikan pada hakikat suatu perjanjian itu sendiri untuk dilaksanakan itikad baik .

(oleh:Dony Yusra Pebrianto,SH.)

2 komentar: